Bocah Kecil di Balik Jendela

, , No Comments
Damin "merusuh" saat kami sedang menyiapkan salah satu program KKN 


Hampir satu tahun sudah aku mengenalnya. Rambutnya keriting, kulitnya hitam meski tak pekat, dan suaranya terdengar berat. Damin, namanya, bocah kecil yang kukenal di Kampung Fafanlap, Misool, Raja Ampat. Aku mengenalnya saat KKN di kampung yang kini selalu kukenang, Fafanlap.
Damin, entah siapa nama lengkapnya. Ia terkenal dengan julukan preman kecil yang nakal. Namun bagiku tidak. Ia bocah kecil yang manis jika tersenyum, suka membantu saat ku pinta, sering bertanya karena ingin tahu, suka mengikuti setiap kali aku berjalan di Kampung, dan yang paling berbeda dimataku tentang bocah ini adalah, ia suka sekali melihatku dan kawan-kawanku dibalik jendela pondokan. Menerawang ke dalam, ya, Damin suka sekali berdiri di balik jendela dan melihat kami rapat, makan, atau sekedar ngobrol di dalam pondokan.

Aku dan teman-teman memang sudah sepakat melarang anak-anak kampung bermain di dalam pondokan. Apalagi saat kami sedang disibukkan dengan kegiatan-kegiatan KKN atau kegiatan rumahan. Tentu jika anak-anak bermain di dalam pondokan akan membuat kami semakin riweh dengan berbagai macam kerepotan.

Orang-orang menyebutnya nakal, namun bagiku ia hanya memiliki sedikit “keunikan”. Orang-orang menilainya susah diatur, namun bagiku ia hanya memiliki keinginan besar yang belum luntur. Orang-orang men-judgenya banyak keburukan, tapi bagiku ia hanya belum mengerti saja tentang banyak kebaikan.

Sering ku dapati ia mengintip di balik jendela. Sesekali ku intip kembali dari dalam rumah. Kadang ia hanya duduk-duduk di sekitar jendela pondokan kami. Tak jarang juga ia main-main di dekat jendela kamarku. Tak jarang juga ia menyapaku dan sesekali melempar obrolan dari jendela kamarku yang terbuka. Entah apa yang membuatnya penasaran dengan keberadaanku. Dan entah, saat pertama kali bermain dengannya semacam ada chemistry. Klik, seperti kunci dan gembok yang pas menyatu, seperti itu pula saat bermain dengan Damin.

Ada banyak cerita yang mengesankan dari perjumpaanku dengan bocah yang suka berjaga di balik jendela itu. Meski tercitra sebagai anak yang nakal, namun aku menemukan banyak sisi romantis dari bocah dengan hitam kulit dan keriting rambut ini.

Pernah suatu saat, aku sakit di dalam pondokan. Yah, sudah kuduga aku akan sakit meski hanya sekali selama KKN. Dan itu benar terjadi. Aku tak berdoa agar sakit, tapi dugaan itu semacam sudah mensugesti. Sakit bagiku semacam tamu yang selalu berkunjung setiap bulan. Mungkin si “tamu” akan rindu jika tak menjamahku. Hehe. Malah, aku akan terheran jika dalam waktu sebulan aku tak juga sakit. “ini beneran gue? Gak sakit?” hohoho....

Back to de story. Siang itu, si kuning tak kenal cape terus memanasi bumi belahan Misool, pulau tempat kami tinggal selama dua bulan. Panas. Namun, panasnya tak begitu terasa membakar karena pondokan tempat kami mondok terletak di pinggir laut. Kalau panasnya membakar, tentu aku jadi pengen mbakar ikan sekalian aja. (#ngok... ngelucunya garing. :D ) Angin laut seperti berlari-lari mencolek-colek tubuh. Siang itu terasa sedikit teduh. Mungkin angin laut kurang bersahabat dengan tubuhku. Sembribit anginnya... mungkin itu yang membuatku langsung demam.

Siang itu, seperti biasa. Damin mengagetkanku dari balik jendela. Saat itu aku sedang istirahat tidur siang. Saat ku balikkan badan, sedikit membuka mata, aku terkaget. Sesosok kepala menjuntai dari luar jendela. “Woh...”, kagetku. Aku tak begitu menghiraukannya. Kembali tertidur dan menutup mata lebih menarik bagiku sambil berucap, “Damin jang ko ganggu kaka. Kaka sakit.”

“kaka, kaka sakit ne? Sakit apa?” tanyanya penasaran.
“demam,” jawabku singkat tak tertarik untuk menggubris pertanyaannya.

Sesaat agak lama, aku tak menggubrisnya dan terdengar suara kepala Damin dan jendela beradu. Damin pergi meninggalkan jendela tempat favoritnya.
Bukan Damin namanya jika terlalu lama pergi dari “jendelanya”. Suara jendela kembali berbunyi beradu dengan tubuh Damin.

“kaka... kaka... kaka tra ikut naik ke kebun kah? Itu kaka-kaka yang lain pergi ke kebun,” katanya hebring (heboh).

Aku tak menggubrisnya, “biar suda,,, mereka ke kebun. Sa di rumah saja suda.”
“nanti kaka di rumah sendiri to. Kaka ikut suda, kaka jang sampai sendiri di rumah,” Damin semakin heboh.

Aku bangun dan ku bilang, “Damin, kaka lagi sakit. Biar suda kaka-kaka yang lain pergi. Kaka di rumah saja mau istirahat karena sakit.” Jelasku padanya.
Bukan Damin namanya jika langsung menurut. Ia tak mau tahu dan memaksaku untuk ikut dengan teman-teman yang lain. Nampak dari raut wajahnya ia mengkhawatirkanku. Aku tersenyum saat menduga demikian. “ah,, anak ini. punya sisi romantis juga ternyata.”

“kaka, kaka, cepat ikut kaka dorang, kaka-kaka su pergi. Kaka ikut pergi suda. Jang sampai di rumah sendiri”, ia tetap memaksaku. Namun aku tak mau menurutinya. Aku diam dan melanjutkan istirahat. Ah dasar anak-anak, belum ngerti kalo badan ini sudah lemas betul. Mungkin baginya, sakit bukan halangan untuk tetap pergi bermain. Iya, sudah terlihat dari polahnya yang aktif seperti tak memikirkan apapun, yang penting bermain. Damin terus merengek, namun aku tak menggubris dan melanjutkan tidur.

Nampaknya, angin di pinggir laut di kampung itu juga sedang bermain-main pada siang itu. Terasa sekali sembribitnya. Ombak yang beradu dengan tepi dermaga sangat terdengar deburnya. Langit terlihat membiru indah. Siang hari yang terasa teduh, waktu yang pas sekali untuk boci alias bobok ciang.
pondokan putri, di jendela biru itu Damin suka menerawang 

Tak terdengar lagi suara Damin. Aku bangun dan melihat ke luar jendela. Benar dugaanku, Damin bermain di dekat jendela kamar seperti tak ingin meninggalkanku sendirian. Ia menemaniku meski dari luar pondokan. Ia membersamaiku meski tak masuk ke dalam rumah. Aku tersenyum simpul. Ah anak ini.

Kenangan lain selanjutnya adalah saat aku kembali ke kampung itu untuk kedua kalinya. Tentu bukan dalam rangka KKN. Mahasiswa mana yang mau ngulang KKN-nya? Kedatanganku untuk kedua kalinya untuk sebuah misi. Aku memutuskan untuk menjadikan Fafanlap bagian dari penelitian skripsiku. Ide itu muncul setelah pulang ke Jawa selepas KKN dulu. Sebelumnya, aku mengalami kejenuhan dengan skripsiku yang tak kunjung ada progressnya. Aku sudah mencapai titik jenuh. Sudah dua kali aku ganti judul skripsi. Memang, skripsi dengan judul ini memang terpaksa ku ambil. Aku memaksa mencintai tema skripsi ini. Aku sadar aku terpaksa mencintaimu, krip (panggilan untuk skripsi.hha). Padahal tema skripsiku ini bagian dari proyek dosen dan mendapat dukungan dari dosen yang bersangkutan. Namun aku tak bisa menambah satu kata pun untuk kususun dalam proposalku. Sampai pada puncaknya, aku sudah tak bisa berfikir lagi. Aku menyerah. Namun aku berusaha mencari celah. Tentu, aku ingin skripsiku segera usai dan mengantarkan kuliahku sampai berakhir khusnul khatimah. :D :D Sadah menthok,,, thok. Hmmm,,, kalau sudah menthok, saatnya menikung. Hehe... Karena, jika sudah menthok, jangan hanya berhenti. Sadarlah bahwa masih ada jalan menikung. Menikung saja. Ku sebut itu move on. hehe

Aku mencari celah. Aku memutar otak, dan.... ting! Ku temukan. I got it! I got it! Serasa hidupku kembali cerah setelah tertimpa gelisah. Haha... akhirnya aku putuskan kembali ke Fafanlap untuk penelitian skripsi.

Kedua kalinya. Ya aku menginjakkan rumput lapangan Fafanlap untuk kedua kalinya. Aku turun dari kapal Fajar Indah di dermaga Fafanlap untuk kedua kalinya. Aku berjumpa dengan “keluarga besar” Fafanlap untuk kedua kalinya. Yeah, alasan yang tepat untuk kembali ke kampung ini, berjumpa dan men-dudah tabungan rindu. Setelah KKN, aku dan kawan-kawan semakin mencintai kampung ini dan segala apa yang ada di kampung ini.

Aku mengerjakan penelitianku di SMP 4 Raja Ampat yang terletak di kampung itu. Setiap paginya aku pergi ke SMP untuk memeriksa sampel-sampelku. Siang itu, siang yang tetap terik panasnya. Aku melewati rumah Damin. Ia duduk di depan rumahnya seperti menunggu seseorang datang. Aku menyapanya. Ia tak begitu berminat sekali untuk membalas sapaanku. “hai Damin,kok gak sekolah?”, sapa ku sok ceria. Emang sebenarnya gue ceria kok... hehe...

Aku berlalu saja. Aku terus berjalan menuju SMP. Tak lupa aku sapa nenek, kakek, mace, pace yang ketemui selama ku berjalan. Aku memandang kebelakang, ternyata bocah itu mengikutiku pelan-pelan. Oh Damin, pasti kau akan lakukan itu. Kau membuatku merasa istimewa, Damin. Merasa gimana gituh.. haha..

Kupanggil Damin untuk berjalan sejejar bersamaku. Sampai di SMP, dia menemaniku mengerjakan sampel-sampel penelitianku. Tak jarang ia ribut bertanya tentang yang ku kerjakan dan alat-alat yang terhampar di depanku. Anak-anak memang curoius. Aku menjawab setiap tanyanya namun ku pinta ia tak mengganggu kerjaku. Ia setia menamaniku ngelab di SMP. Hari berikutnya pun begitu. Ia menantiku lewat di depan rumahnya dan menemaniku “kerja” di SMP. Anak ini, aku merasakan chemistry yang semakin lekat padanya. Ia sangat senang saat ku ajak jepret jepret foto bareng.

Yang mengesankan, saat aku hendak pulang ke Jawa meninggalkan kampung. Ku dapati ia bermain kelereng di samping rumah yang kutinggali. Saat aku menghampirinya, ia kaget dan langsung bersembunyi. “kaka mia datang”, teriaknya pada temannya dan langsung ngumpet. Ah kamu, Damin. Aku tersenyum. Ternyata kabar keberangkatanku kembali ke Jawa sampai pada telinganya. Ia ingin melepas kepergianku. Aku kembali teringat saat dulu aku kembali ke Jawa saat selesai KKN. Seduannya terdengar sampai di kapal. Ia terlihat begitu berat melepas perjumpaan denganku.
Namun untuk kepergianku yang kedua ini, aku tak melihatnya sesedih yang dulu. Namun begitu, aku tetap terharu dengan kelakuannya terhadapku.

Kau begitu romantis, nak. Aku suka caramu mengkhawatirkanku. Aku terharu kau menjagaku. Aku tersipu caramu menemaniku. Aku senang caramu membersamaiku. Andai banyak orang tahu sisi-sisimu yang lain. Setidaknya, ku harap kau mendapat sedikit perhatian dari orang-orang di sekitarmu.
Aku akan selalu mengenang tingkahmu. Di malam hari, aku menatap langit seperti aku menatap wajah dan tingkahmu. Langit pun tahu aku selalu merindu. Tak hanya rindu padamu saja. Tapi juga rindu pada wajah-wajah penduduk Kampung. Mulai dari anak kecil, mace, pace, hingga para sesepuhnya. Aku merindu kebersamaan dan perjumpaan yang dulu pernah terrajut. Setiap desir angin, ku titipkan salam rinduku pada kalian. Semoga kalian merasakan hembusan angin yang membawa salam rinduku.

Damin ada di antara kerumunan ini saat mengantar kepergian kami kembali ke Jawa selepas KKN. Mengharu biru ;)

Surakarta, 14 Ramadhan 1436H.

M Kusmia S dengan kerinduannya.

0 komentar:

Post a Comment